Culture Magazine

Star Trek Beyond (2016): Jembatan Versi Abrams Dengan Versi Original

By Paskalis Damar @sinekdoks
Star Trek Beyond (2016): Jembatan versi Abrams dengan versi original

Star Trek Beyond ­sebagai rilisan ketigabelas saga layar lebar alias film ketiga versi alternate timeline yang digagas J.J. Abrams terasa sangat spesial, karena film ini sekaligus juga merayakan setengah abad-nya franchise . Banyak faktor yang menjadikannya salah satu film Star Trek yang pantas disimak.

Cabutnya J.J. Abrams dari Star Trek Beyond untuk menukangi franchise 'Star' lainnya memang awalnya memunculkan banyak keraguan. Apalagi menimbang penggantinya, Justin Lin, yang portfolio-nya belakangan ini dipenuhi ledakan dan aksi over-the-top plus car-nage tanpa henti lewat franchise Fast & Furious. Verdict awal pun bermunculan menuduh adegan aksi 'kosong' akan menghilangkan sisi filosofis dan formal franchise Star Trek yang sukses ditata ulang oleh Abrams.

Namun, sebagian dari verdict awal tersebut ternyata salah; Justin Lin adalah sutradara yang paling tepat untuk Star Trek Beyond. Keahliannya untuk menghadirkan semangat summer blockbuster dengan cerita yang berpusat pada tim berlabel "keluarga" sudah terbukti di Fast & Furious. Pola kerjanya dengan ensemble of cast yang besar juga sudah terbukti di franchise yang sama. After all, isn't Star Trek always about that, too?

Hasilnya, Star Trek Beyond tampil lebih ringan dan lebih down-to-earth jika dibanding predesesornya yang dibesut Abrams, namun juga tampil lebih menghibur dan efektif (jika dibanding Into Darkness) while tetap se-track dengan universe Abrams.

Sedikit banyak terbantu oleh karakterisasi yang sudah diperdalam di rezim Abrams, Star Trek Beyond langsung tancap gas. Masuk di tahun ketiga dari misi 5 tahun USS Enterprise, Captain Kirk (Chris Pine) dan kolega singgah di satelit canggih Federation bernama Yorktown, saat sebuah distress call datang dari nebula yang jauh. Berniat menginvestigasi dan memberi bantuan, kru Kirk justru diserang oleh pasukan Krall (Idris Elba) yang misterius sehingga harus terdampar di sebuat planet asing.

Skrip yang ditulis oleh Simon Pegg (yang juga berperan di film ini) serta Doug Jung banyak mengedarkan fokusnya pada kru original Enterprise yang makin matang. Ide duo penulis ini untuk mem-pairing up karakter-karakternya dengan kombinasi yang unik memberikan insight yang lebih dalam tentang individu-individu yang biasa dikapteni Kirk.

Sang kapten dipairkan dengan Chekov (alm. Anton Yelchin) - sukses mengikiskan sisi 'all-about-me'nya Kirk sekaligus memperdalam simpati kita terhadap Chekov (apalagi pasca-meninggalnya Yelchin). Spock (Zachary Quinto) secara awkward dipairkan dengan Bones (Karl Urban) - yang surprisingly menghadirkan banyak humor dengan ke-kaku-an mereka. Sementara, Scotty (Pegg) dipairkan dengan karakter baru, Jaylah (Sofia Boutella, Kingsman), yang cukup mencuri perhatian dengan penampilannya yang monokrom. Sementara yang paling tak nampak justru pairing Uhura (Zoe Saldana) dan Sulu (John Cho), yang tenggelam di antara yang lain.

Pairing yang unik ini seolah menjawab kritikan terhadap 2 predesesornya yang terlalu fokus pada hubungan rumit Kirk-Spock-Uhura; mengakibatkan karakter kunci lainnya bagaikan cameo saja. Selain memberikan kesempatan karakter pendukungnya bersinar, Star Trek Beyond juga pelan-pelan mengembalikan fokus penceritaan pada trio Kirk, Spock dan Bones seperti di serial original Star Trek.

Star Trek Beyond surprisingly menghadirkan lebih banyak intrik a la serial originalnya; bahkan film ini terasa seperti sebuah extended episode serial tersebut kalau boleh jujur. Banyak homage yang ditujukan untuk serial original tersebut, termasuk squad photo yang nostalgic sekali. Tapi yang paling menarik adalah homage terhadap Leonard Nimoy (yang juga pernah tampil sebagai Spock) yang meninggal 2015 lalu; serta homage terhadap George Takei (Sulu original) yang merupakan prominent supporter LGBT rights.

Script-nya yang segar dan ringan memang sukses menggali kru Enterprise dan bahkan menjembatani universe kreasi Abrams dengan Star Trek original. Namun, ia gagal menggali sisi villain-nya, Krall. Setelah menampilkan musuh bebuyutan Enterprise dalam diri Benedict Cumberbatch dalam Into Darkness yang multi-layered dan bermotivasi yang wicked, Krall justru melempem; cuma menggelegar di awal dan pelan-pelan hilang tanpa arti. Begitu pula rekannya, Manas (Joe Taslim dengan peran Hollywood yang nyata), yang keberadaannya terasa antiklimaks.

Dengan kemunculan tokoh rubber-faced Idris Elba yang angin-anginan, untungnya Justin Lin tetap tahu cara mengolah adegan aksinya menjadi visual spectacle yang menggelegar. Tampilan Yorktown yang sentrifugal terasa sangat asyik, begitupun tampilan serangan 'bees'-nya Krall yang masif dan mengerikan. Diiringi dengan scoring Michael Giacchino yang terasa grand, Star Trek Beyond menjadi perpaduan summer blockbuster seru, seseru lagu Beastie Boys yang menandai klimaks film ini.

Abrams memang sukses menghadirkan franchise baru Star Trek yang mandiri tapi tak lupa diri. Meanwhile, Justin Lin sukses menjembatani versi Abrams dengan versi originalnya dengan halus meskipun tampil lebih ringan dan down-to-earth.

Star Trek Beyond (2016)

Star Trek Beyond (2016): Jembatan versi Abrams dengan versi original
Star Trek Beyond (2016): Jembatan versi Abrams dengan versi original

Review Star Trek Beyond ini disponsori oleh Book My Show Indonesia.


Back to Featured Articles on Logo Paperblog