Entertainment Magazine

A Monster Calls (2016): Ode Untuk Yang Telah Tiada

Posted on the 20 October 2016 by Paskalis Damar @sinekdoks
A Monster Calls (2016): Ode untuk yang telah tiada

Review: Sebelum A Monster Calls membuatmu merasa sentimental atau malah mengalami gegar emosi, mohon tahan dulu air mata bawangnya sebentar saja. Ketahuilah dahulu bahwa ini bukan sekedar disease-porn atau grief-porn yang cengeng. Namun, ini adalah sebuah kisah yang indah tentang penerimaan dan kebesaran hati untuk merelakan sesuatu. A Monster Calls digambarkan dengan visual yang menakjubkan dan narasi yang mendalam tentang seorang anak dalam mengatasi duka dan depresinya.

Datang dari visi sutradara Spanyol, Juan Antonio Bayona-pengarah The Orphanage yang indah dan The Impossible yang devastating- A Monster Calls adalah kombinasi kisah monster fantasi dan drama coming-of-age yang menyesakkan. Kisah ini berpusat pada seorang anak, actually "too old to be a kid, yet too young to be a man," bernama Conr O'Malley (Lewis MacDougal). Dalam usianya yang masih sangat muda, ia memiliki hidup yang sangat tidak beruntung; ibunya (Felicity Jones) sakit keras; ayahnya (Toby Kebbell) sudah memiliki keluarga baru jauh di Amerika; teman-teman di sekolah membully-nya; dan bila keadaan memburuk, ia terpaksa harus tinggal bersama neneknya (Sigourney Weaver) yang sama sekali tak cocok dengannya. Tak ada jalan keluar bagi Conor dari kehidupan menyebalkan ini, sampai suatu monster raksasa mendatanginya di suatu malam.

Sang monster (diisi suaranya oleh Liam Neeson) yang berwujud pohon yew tua dengan mata yang merah menyala, hadir untuk membantu Conor. Monster yang serupa kerabat Groot dari Guardians of the Galaxy atau Ent dari Lord of the Rings ini sama sekali tidak berniat untuk menyembuhkan siapapun, menghajar siapapun, atau mengantar Conor ke manapun; ia hanya datang untuk menceritakan 3 cerita berbeda pada 3 malam yang berbeda. Ketika ia selesai menceritakan kisah ketiganya, Conor harus menceritakan kisah keempat-sebuah fakta yang tak pernah ia akui sebelumnya; esensi dari mimpi-mimpi buruknya.

Patrick Ness, sang penulis (yang melanjutkan embrio cerita Siobhan Dowd, yang tak sempat menuliskannya sebelum meninggal karena kanker), yang sekaligus penulis naskahnya, mengkreasikan A Monster Calls sebagai sebuah dongeng anak-anak yang struktur plotnya "menyimpang" (memangnya kisah ini benar untuk anak-anak?). Kisah ini indah di setiap aspeknya: dialognya, simbolismenya, karakterisasinya, serta penggunaan alegori untuk memperdalam penceritaannya. Rasanya, semakin dalam terjun ke dalam ceritanya, rasanya seperti membaca sebuah novel visual; semakin dalam, cengkeramannya makin kuat hingga menusuk sisi emosionalmu dan meninggalkan bekas luka di sana.

Butuh waktu untuk bisa menangkap A Monster Calls secara keseluruhan; apalagi plotnya tentang berbagai cerita di dalam cerita yang berpotensi mendistraksi. Untungnya, sinematografi Óscar Faura yang memesona dikombinasikan dengan editing yang stylish (terutama di beberapa transisi scene) serta mise-en-scene yang mendetail mengiring mata untuk menyapu seluruh kanvas-tenangnya lansekap daerah suburban yang dihiasi animasi dengan teknik pewarnaan yang teduh. Melalui keindahan visual serta narasinya yang tegas, A Monster Calls menggali 'nature' rasa takut, duka, dan depresi dengan dalam; yang kemudian di-dekonstruksi untuk menghasilkan pesan yang luar biasa: tentang penolakan menerima kebohongan yang menenangkan untuk menerima kenyataan pahit dan melangkah maju.

Kisah indah ini takkan seindah itu jika tanpa ensemble cast-nya yang luar biasa pula. Felicity Jones kembali berhasil menyampaikan penampilan terbaiknya ketika ia bukan spotlight utamanya. Sebagai sesosok ibu yang tengah sakit keras namun berusaha terlihat kuat demi putranya, Jones meng-highlight sisi perjuangannya melawan kanker dengan sederhana tapi menyentuh. Di sisi lain, Sigourney Weaver sebagai sosok nenek justru memancarkan aura yang berlawanan dengan Jones; dan itu adalah hal yang positif. Peran kecil Toby Kebbell memberikan semangat pendukung yang sekuat voice-acting Liam Neeson yang mengembalikan sisi bijaksananya. Namun, dari semua penampilan yang luar biasa itu, bintang utama A Monster Calls, tak lain dan tak bukan adalah si pendatang baru, Lewis MacDougan.

Penampilan hangat yang seperti ditampilkan MacDougan ini lah yang selalu membuat saya berharap ada lebih banyak penghargaan untuk aktor anak-anak; anggaplah Oscars harusnya punya kategori Best Performance by Child Actor. Dalam arahan Bayona, MacDougan tak hanya menampilkan "kesedihan" murahan yang sinetronik. Terpancar jelas bahwa bukan kesedihan yang Conor hadapi, melainkan ketakutan bahwa semua takkan pernah sama lagi. Conor dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum ia siap dan ia sudah muak. Dia hanya ingin mempertahankan status quo; dia hanya ingin menjadi seorang anak-anak yang lumrah; dia hanya ingin bersama ibunya. Namun, waktunya makin menipis tatkala kanker mulai menggerogoti ibunya. Pada saat itulah penampilan MacDougan terasa nyata hingga kita mampu merasakan ketakutan dan keengganan yang sama.

Semua keindahan yang dipancarkan A Monster Calls makin membuat pesan emosionalnya tersampaikan dengan sempurna. Pada akhirnya, meskipun dengan riak di kerongkongan atau mungkin air mata di pelupuk mata, A Monster Calls menghadirkan bagimu sebuah kisah penerimaan dan merelakan yang cantik. It's majestic; hangat; personal; dan tak mudah dilupakan.

A Monster Calls (2016)

A Monster Calls (2016): Ode untuk yang telah tiada
A Monster Calls (2016): Ode untuk yang telah tiada

Drama, Fantasy Directed by: J.A. Bayona Written by: Patrick Ness Starred by: Lewis MacDougall, Sigourney Weaver, Felicity Jones, Liam Neeson Runtime: 108 mins Rated PG-13

Review ini disponsori oleh Book My Show Indonesia.


Back to Featured Articles on Logo Paperblog