Lights Out (2016): Teguran Meta-horror Untuk PLN

By Paskalis Damar @sinekdoks

Review Lights Out: Berawal dari film pendek 2-3 menitan yang sempat viral pada circa 2013, sutradara David Sandberg mengembangkannya menjadi sebuah full feature berdurasi 81 menit yang somehow sukses menghadirkan fobia gelap sekaligus teguran halus untuk PLN.

Diawali dengan adegan yang semacam mereka ulang film pendeknya, Lights Out tanpa basa-basi langsung 'memperkenalkan' sosok misteriusnya, yaitu sesosok entitas yang cuma menerror dalam kegelapan saja. Bayangkan saja ia muncul saat lampu dimatikan dan hilang ketika lampu dinyalakan; begitu terus sampai tiba-tiba ia muncul di hadapanmu.

Tanpa waktu lama, Lights Out kemudian memperkenalkan keluarga yang menjadi fokus ceritanya. Berpusat pada sosok Rebecca (Teresa Palmer), sesosok pariah yang punya masa lalu kelam dengan ibunya, yang berusaha menolong adik tirinya (Gabriel Bateman) dari bahaya yang juga pernah mengancamnya waktu kecil. Sementara itu, ibu mereka (Maria Bello) yang baru saja kehilangan suami keduanya, terus-terusan bertingkah aneh seolah-olah dia hanya ingin ditemani 'teman rahasia'nya. Jadi, apakah si entitas misterius itu penyebab misery dalam keluarga disfungsional ini? Atau disfungsionalnya keluarga ini yang memunculkan si entitas anti-cahaya itu?

Intinya, Sandberg dan penulis naskah, Eric Heisserer, tak mau terlalu berfokus pada sang entitas itu, meskipun tak bisa dipungkiri, ia adalah magnet horrornya. Untuk membuat film panjangnya benar-benar berfungsi, bumbu penceritaan yang dimasukannya ke dalam Lights Out lumayan efektif untuk menghadirkan simpati yang mampu mengimbangi annoying-nya si entitas anti-cahaya ini.

Tentang si entitas penebar terror di film ini, ia memang banyak muncul apalagi di beberapa menit awal di mana ia benar-benar memegang kontrol dengan terror frontal yang efektif dan punya efek kejut yang luar biasa. Namun, Sandberg tak ingin mengeksploitasinya secara berlebihan; alih-alih, ia banyak menggunakan trik yang sifatnya atmosferik-seperti membiarkan kesunyian di layar membuat penonton merasa tak aman; menyorot sudut-sudut yang seolah bisa jadi sudutnya si makhluk horror; menunjukkan lorong remang-remang yang nampak bahaya; serta membiarkan ruang gelap di tengan ruangan yang terang.

Trik-trik tersebut selalu efektif sebelum Sandberg memutuskan untuk memberikan beberapa jump scare yang awalnya jarang tapi makin ke belakang makin intens. Beberapa jump scare-nya memang original dan tepat sasaran, tapi lama-lama terasa makin repetitif dan mudah ditebak. Yang membuatnya spesial hanya satu, Sandberg tak mau repot-repot menunjukkan wujud asli si penebar terrornya; membiarkannya menjadi bayangan hitam atau sekedar sekelebat gelap saja (meskipun ada satu adegan yang memperlihatkan wujud aslinya), sehingga membuat penonton makin terintimidasi saja dengan kehadirannya. Seolah-olah entitas yang sama bisa saja berada di bioskop pada saat yang bersamaan.

Selain jump scare yang menjurus excessive, Lights Out juga sedikit bermasalah dengan logika plotnya dan backstory yang dibiarkan mengawang. Tapi, setidaknya kejanggalan minor itu justru mampu mengeskalasi terrornya dan tidak sampai menyebabkan masalah kontinuitas.

Setidaknya lagi, Lights Out berhasil menunaikan tugasnya dengan pas (at least, for me). Kini, mematikan lampu tak akan pernah bisa sama lagi, apalagi mati listrik (note that, PLN!). Untung saja film ini bersetting di tempat yang Perusahaan Listriknya tak suka mematikan listrik tanpa peringatan.

Final verdict-nya, Lights Out memang sedikit weighed down dengan jump scare repetitif dan logika cerita yang kadang bermasalah, namun secara keseluruhan, film ini tetap mampu menghadirkan terror yang nyata, yang relatable.

Lights Out (2016)

Review ini disponsori oleh Book My Show Indonesia.