Crouching Tiger, Hidden Dragon: Sword of Destiny (2016): Memangnya Bible Perlu Dibuat Sekuel?

By Paskalis Damar @sinekdoks

Review Crouching Tiger, Hidden Dragon: Sword of Destiny: Sejatinya, Ang Lee membuat Crouching Tiger, Hidden Dragon selayaknya menulis sajak Tiongkok kuno tentang cinta, kehormatan dan 'jalan pedang.' Selain alurnya yang menghipnotis, diksi-diksi yang indah tertuang dalam visual panache-nya, rima-rima yang melagu merdu tertuang dalam koreografinya, filosofi membijaksan dalam setiap dialognya, sementara imajeri-imajeri pun berjejalan memberi konteks dan simbolisme.

Perlu waktu 16 tahun dan Netflix untuk akhirnya melanjutkan kisah yang telah lama ditinggalkan ini. Wo-Ping Yuen, sutradara sekaligus aktor wuxia gaek dari Tiongkok, didapuk untuk menyutradari sekuel berbahasa Inggris ini. Ya, berbahasa inggris.

Kebarat-baratan adalah kata sifat yang tepat untuk menggambarkan Sword of Destiny. Script-nya penuh treatment Hollywood: mengabaikan berbagai subtext alias kearifan lokal-nya bahkan me-render dialognya yang nyaris tak bersubstansi. Belum lagi, esensi pepatah Crouching Tiger, Hidden Dragon tak lagi tampak; seolah film ini justru adalah antitesis pepatah itu sendiri.

Ceritanya tidak secara langsung melanjutkan Crouching Tiger, Hidden Dragon meskipun berpusat pada pedang legendaris milik Li Mu Bai, yang pernah diperankan Chow Yun-fat. Bersetting 18 tahun pasca film pertamanya, Sword of Destiny mengikuti perjalanan Shu Lien (Michelle Yeoh) yang berniat mengamankan pedang kekasihnya itu. Banyak tangan menginginkan pedang tersebut; pada saat yang bersamaan, Shu Lien mendapat pertolongan dari seorang pria berbesar hati dari masa lalunya.

Secara garis besar, frame cerita Sword of Destiny adalah cerminan Crouching Tiger, Hidden Dragon. Ada kisah tentang kasih tak sampai dan hubungan guru-murid yang kental; namun, skrip gubahan John Fusco (The Forbidden Legend) sama sekali tak memberi nyawa pada ceritanya. Jangankan nyawa, filosofi Tiongkok yang kental pada film pertamanya sama sekali tak hadir.

Bayangkan seorang penulis asing mencoba menggubah sebuah sajak kuno Tiongkok - yang terkenal karena ke-Tiongkok-annya - dengan gaya penulis asing itu sendiri yang seolah mencoba meng-universal-kannya. Inti dari Crouching Tiger, Hidden Dragon hilang; yang tersisa hanyalah sebuah film kolossal biasa dengan setting Tiongkok kuno dan karakter yang 'meminjam' dari film pertamanya.

Wo-Ping Yuen memang sudah terbiasa dengan film wuxia; dia mampu memberikan touch of zen kepada film ini dengan koreografi pertarungan serta set decoration-nya yang totalitas. Tapi, ia sama sekali tak mampu menyelamatkan Sword of Destiny dari kekosongan substansinya.

Sekali lagi, bayangkan. Seorang penulis mencoba menggubah sajak kuno Tiongkok berdasarkan sajak lama yang legendaris; ia punya diksi yang indah, ia masukkan rima-rima yang merdu, ia coba tampilkan imajeri yang terdengar filosofis; tapi ia tak mampu menulis hanyu, ia bahkan tak paham sejarah Tiongkok. Lalu untuk apa sajak baru ini ditulis?

Crouching Tiger, Hidden Dragon: Sword of Destiny (2016)